Ganti Nyawanya

Matius 16:26

“Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?”

 

Salah satu pertanyaan penting yang patut dipikirkan di dalam momen Natal dan juga menyosong tahun baru adalah seberapa berharganya hidup ini? Tentu banyak orang akan menjawab dengan spontan bahwa hidup ini berharga. Namun jawaban spontan itu nampak berbeda dari praktik kehidupan. Ada banyak orang yang “membuang” kehidupannya untuk hal-hal yang remeh bahkan berdosa, seperti hidup dengan kecanduan narkoba, kecanduan kerja, bahkan hidup tidak menjaga kesehatan demi menikmati makanan enak. Jangankan seperti kata Alkitab “memperoleh seluruh dunia,” banyak orang hanya demi mendapatkan satu dua hal rela kehilangan nyawanya.

 

Namun di sisi yang lain, ada orang yang berusaha mempertahankan sesuatu yang menyenangkan sehingga rela membuang sesuatu yang berharga. Hal inilah yang dituliskan di dalam Matius 16:24-25. Dua ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa hidup mengikut Tuhan bukanlah sebuah jalan kehidupan yang mudah. Harus ada penyangkalan diri yang berarti bukan menuruti kehendak dan keinginan diri sendiri, tetapi rela menggantinya dengan kehendak dan keinginan Tuhan, serta harus bersedia memikul salib yang berarti kesediaan untuk mati. Ada banyak orang, dalam konteks ini yang mengaku murid atau pengikut Kristus, yang justru memilih untuk mempertahankan kenyamanan hidup sehingga kemudian membuang dan melepaskan Tuhan (baca: kehidupan mengiring Tuhan dengan benar).

 

Dua cara ini, baik melepaskan (keutuhan) hidup demi mendapatkan kesenangan dan mempertahankan kesenangan sehingga rela kehilangan kehidupan di dalam Tuhan ini merupakan jalan kehidupan yang sia-sia. Mengapa dikatakan sia-sia?

 

Pertama, kesenangan adalah sesuatu yang sementara. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa seseorang yang hidup berfokus untuk mendapatkan kesenangan akan berjuang lebih dan lebih untuk mendapatkannya. Ibarat seperti uap yang ditangkap, tetapi tidak pernah ada di dalam genggaman kita.

 

Dengan demikian, apakah berarti kehidupan Kristiani yang benar adalah kehidupan yang anti kesenangan? Saya percaya jawabannya juga bukan tidak. Kesenangan-kesenangan hidup di dalam kebenaran (bukan karena perbuatan dosa) adalah anugerah Tuhan untuk menyegarkan diri di tengah kepenatan dan tekanan hidup untuk menolong kita dapat kembali bangkit hidup bagi Tuhan. Maka itu mengapa kesenangan itu sifatnya sementara, karena memang bukan menjadi tujuan hidup tetapi salah satu aspek pendukung kehidupan.

 

Kedua, kesenangan hidup mengaburkan makna kehidupan, sesuatu yang terpenting yang perlu didapatkan seseorang untuk dapat menjalani kehidupan. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang merupakan makna kehidupan Kristiani? Hidup melayani dan menjadi berkat bagi orang lain. Panggilan Tuhan supaya orang percaya hidup menyangkal diri dan memikul salib bukan berbicara sekadar mengenai sebuah model ritualitas asketis, tetapi tujuannya supaya kehidupan ini menjadi berkat bagi sesama. Dengan memikirkan apa yang Tuhan pikirkan dan rela berjuang melakukannya, hidup ini akan dipakai Tuhan untuk menjadi saluran berkat untuk sesama.

Ketiga, hidup yang berfokus kepada kesenangan meremehkan undangan relasi kasih Kristus. Di dalam Matius 16:21 Tuhan Yesus menyatakan bahwa Ia datang untuk menyatakan kasihNya, kasih Allah, kepada manusia dengan cara yang paling puncak, yakni rela kehilangan nyawa-Nya sendiri. Bukankah kasih semacam ini harus diresponsi dengan hidup mengasihi Tuhan yang sudah terlebih dahulu mengasihi kita. Dan kehidupan dalam relasi kasih dengan Tuhan inilah yang menjadi tujuan utama kehidupan manusia di dalam dunia ini. 

Penulis: Pdt. Hadi Sugianto Lie